Minggu, 26 Agustus 2007

Membuat Proses Bisnis Lebih Mudah Dikelola

Volume I Nomor 07 - Mei 2003
Call Center
Dewasa ini, perusahaan-perusahaan semakin dituntut memiliki kinerja lebih baik. Mereka harus mengubah cara-cara pengelolaan proses bisnisnya. Apa saja yang dapat dilakukan?

Belakangan ini, banyak pihak, terutama yang mengambil inisiatif menerapkan e-Business menyadari betapa sulitnya untuk sungguh-sungguh menjalankan e-Business. Salah satu alasannya adalah perusahaan-perusahaan menghadapi kesulitan dalam mengelola proses bisnisnya, khususnya ketika proses bisnis itu terkait dengan berbagai perusahaan lain, negara, aplikasi piranti lunak, dan sistem.

Namun, kondisi semacam ini akan segera berubah. Memang harus berubah, karena para shareholder terus menuntut perusahaan untuk memenuhi janjinya mengenai apa yang akan diperoleh melalui penerapan e-Business. Seperti dikatakan Doug Neal, anggota CSC Research Services, “Semua perusahaan kini tengah berada dalam tekanan untuk berkinerja lebih baik, lebih cepat, lebih hemat dan sangat memanjakan pelanggan. Artinya, mereka harus mengubah cara mereka dalam mengelola proses bisnisnya, yang memungkinkan mereka berinovasi pada proses strategisnya sambil secara bersamaan berkolaborasi dengan rekanan dan pelanggannya.”

Mengapa Sulit Dilakukan?
Banyak perusahaan telah mencoba membuat proses bisnisnya lebih mudah dikelola (manageable) sejak 10 tahun lalu, terutama melalui reengineering proses bisnis. Ketika itu, “reengineering” berarti merancang sebuah proses baru, kemudian mengimplementasikannya melalui sebuah “one-time systems” dan program perubahan organisasi. Masalah yang sama pun juga dialami enterprise resource planning (ERP) dan berbagai paket solusi lainnya yang muncul kemudian. Paket-paket solusi ini sudah mengimplementasikan berbagai best-practices, namun dengan melekatkan proses bisnis di dalam aplikasi piranti lunak yang mendukungnya.

Menurut Howard Smith, co-chairman Business Process Management Initiative, Eropa, untuk mencapai kolaborasi proses di dalam perusahaan saja sudah cukup sulit. Membuat proses bisa berkolaborasi antar perusahaan yang saling terhubung jauh lebih sulit. Para peserta B2B mungkin sudah memiliki rancangan informal untuk proses-proses yang perlu mereka implementasikan. Namun, ketika mereka memperbaiki rancangan tersebut, mereka juga harus mengubah implementasi teknis yang mendukungnya. Dalam kasus-kasus sederhana, hal ini mudah dilakukan. Tetapi, jika sudah menyangkut kasus yang rumit, misalnya desain supply chain yang canggih, proyek ini mungkin tidak akan pernah selesai.

Lain lagi pandangan Ismael Ghalimi, CEO Intalio, vendor Business Process Management Systems (BPMS), yang mengungkapkan bahwa untuk “memperbarui aplikasi atau menambah pemasok ataupun unit bisnis baru dapat membuat aktivitas integrasi tak terkendali.” Menambah piranti-piranti proses dan best practices ke dalam middleware yang sudah ada mungkin bisa membantu, namun akan lebih baik jika ditanamkan ke dalam platform yang mendukung aplikasi-aplikasi tersebut.

Dalam suatu networked enterprises, kolaborasi tidak dibatasi ke salah satu domain proses tertentu. Kolaborasi lebih bersifat 360 derajat, bisa menuju ke segala arah. Kondisi ini menciptakan suatu pekerjaan integrasi yang bersifat many-to-many. Piranti-piranti serta teknik-teknik yang ada seringkali tidak sesuai untuk pekerjaan ini. Bagian sistem informasi seringkali mencoba untuk mengembangkan proses-proses bisnis dengan melakukan integrasi teknik yang bersifat bottom-up, dengan menjahitnya menjadi satu komponen sistem, yang sebenarnya tidak dibuat untuk dapat bekerjasama pada tingkatan tersebut.

Biasanya, proyek-proyek semacam ini akan menyedot habis dana dan ROI (return on investment) mereka dan menghasilkan delivery time yang sulit diterima sponsor dana proyek. Tidak hanya itu, kemampuan untuk mengubah proses di kemudian hari, guna mengembangkan custom variants, atau mengoptimalkan proses di business channel tertentu bakal sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan.

Bahkan, ujar Peter Fingar, executive partner Greystone Group, tidak semua masalah integrasi bersifat teknis. Kolaborasi mensyaratkan sharing representasi untuk proses-proses yang dulunya bersifat proprietary, dan ini bukanlah suatu langkah yang mudah untuk diambil. Namun, jika perusahaan berada di bawah tekanan untuk menjadi lebih baik, lebih hemat, dan lebih cepat, mereka hanya akan melakukan apa yang terbaik mereka bisa kerjakan. Apa saja yang tidak bisa dikerjakan oleh suatu perusahaan dengan baik harusnya dikerjakan oleh pihak lain. Akibatnya, tumbuh apa yang dikenal dengan process outsourcing dan external service sourcing.

Sebaliknya, jika perdagangan ingin benar-benar bersifat kolaboratif, proses-proses bisnis yang mendasarinya pun juga harus berkolaborasi, baik di dalam maupun antar perusahaan. Ini harus dicapai pada business level tersebut, dari atas sampai bawah, dengan memanfaatkan sistem yang sudah ada di dalam perusahaan. Dengan begitu, kolaborasi harus diawali dari tujuan bisnisnya (business purpose), bukan dari masalah teknisnya.

Apa yang dibutuhkan?
Apa yang dibutuhkan bisnis bukan suatu proses tertentu yang “sekali jadi”, tetapi sebuah lingkungan sistem saling terhubung, yang dapat ditingkatkan dan diintegrasikan kembali sesuai perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Kini, sebagian besar perusahaan menginginkan kendali lebih besar atas proses-proses yang dimilikinya, interaksi yang lebih besar antara proses miliknya dengan milik mitra bisnisnya, dan juga kendali serta pemantauan atas proses-proses yang dilakukannya.

Perusahaan-perusahaan masa kini juga tengah menunjukkan business competence tertentu sebagai proses yang dapat mereka jual ke pihak lain atau melalui channel partner. Untuk melakukan ini semua, perusahaan-perusahaan tersebut perlu memahami proses-proses yang mendukung core business competence mereka. Singkat kata, mereka perlu kapabilitas BPMS (business process management systems), bukan paket enterprise application baru.

Situasi ini mirip dengan periode sebelum ditemukannya sistem relational database management. Data bisnis tadinya sudah menempel dalam aplikasi. Ketika volume data semakin besar dan hubungan antara sekumpulan data di berbagai aplikasi menjadi penting bagi bisnis, data tersebut harus dikelola di luar arsitektur aplikasi. Misalnya, seorang manajer ingin menganalisis data indikator kinerja bisnis perusahaan. Untuk mendapatkannya, dibuat sebuah metodologi manajemen data dalam suatu model yang dinamakan relational data model.

Saat ini, hal tersebut umum dijumpai. Dengan memungkinkan suatu perusahaan mengelola datanya secara terpisah dari berbagai aplikasi yang memanfaatkannya, database management systems (DBMS) mendukung berbagai jenis model data, piranti, dan fungsi-fungsi manajemen data. Industri TI yang kita lihat sekarang ini sebagian besar didirikan di atas DBMS.

Aplikasi enterprise masa kini sebagian besar menyangkut manipulasi, pembacaan, dan penulisan tabel data – atau, dengan kata lain, tugas-tugas administrasi. Akibatnya, aplikasi semacam ini berbentuk tambun. Business logic, konektivitas, model data dan waktu semuanya ada dalam satu aplikasi. Pembuatan dan pengelolaan proses end-to-end harus sesuai tanggal dan berjalan di atas solusi middleware yang rumit. Hal ini tidak saja mahal, namun juga terlalu rumit.

Sistem manajemen proses yang baru menawarkan sebuah alternatif yang lebih cost effective, lebih terkelola dan lebih sederhana. Keuntungan langsungnya adalah kemampuannya untuk menyesuaikan proses dengan sasaran perusahaan dan diferensiasi pasar. Proses bisnis bersifat kompleks, selalu berubah, berumur panjang, berjumlah besar dan unik. Ketika otomatisasi, kolaborasi, dan process outsourcing terus bergerak cepat, proses-proses tersebut berpotensi membebani perusahaan. Sistem manajemen proses merupakan perangkat untuk mengatasi kerumitan tersebut.

Dalam kondisi seperti itu, menurut Howard Smith, proses-proses standar yang diberikan dalam bentuk aplikasi-aplikasi standar, semakin hari semakin tidak atraktif. Perusahaan-perusahaan ingin membuat prosesnya sendiri, melakukan perbaikan proses secara berkelanjutan dan bertahap tanpa harus menghadapi hambatan teknologi, dan secara bersamaan mengeksploitasi komponen-komponen aplikasi terunggul dan termurah. Nantinya, era aplikasi-aplikasi tambun akan berganti dengan era process manufacturing.

BPML
Langkah pertama adalah membuat proses menjadi lebih jelas dengan memisahkannya dari piranti lunak aplikasi. Hal ini relatif baru. Lebih dari sepuluh tahun lalu, sistem-sistem operasi dibuat kembali dengan memisahkan manajemen memori, akses file, dan GUI (graphical user interface) dari aplikasi. Sistem manajemen database menghilangkan, baik manajemen data maupun skema. Kini, aturan-aturan bisnis dijalankan dan dikelola dalam suatu lingkungan terpisah. Karenanya, manajemen proses adalah langkah logis selanjutnya.

Salah satu enabling technologies yang sudah ada adalah Business Process Modeling Language (BPML), yang dikeluarkan Business Process Management Initiative (BPMI.org). Bahasa baru ini - seperti halnya SQL, memiliki pondasi matematis yang kuat – adalah sebuah metodologi untuk menampilkan dan berinteraksi dengan proses bisnis apapun.

Efeknya, sistem manajemen proses ini memisahkan proses dari kode pemrograman aplikasi dan karenanya memberikan suatu kapabilitas baru bagi bisnis, yakni kemampuan menganalisis, menempatkan, merancang, mengeksekusi, mengoperasikan, dan mengoptimalkan berbagai proses yang tidak tergantung pada aplikasi yang dibangun di atasnya. Sistem ini dapat melihat bisnis secara end-to-end. Mereka dapat melihat keseluruhan proses, tidak hanya perubahan data ketika proses dijalankan. Sistem ini juga akan memungkinkan kolaborasi antara proses-proses yang dirancang secara independen oleh berbagai pihak. Seperti standar lainnya, keuntungan dari BPML akan terasa hanya jika sistem manajemen proses ini diterapkan ke dalam bisnis.

•Howard Smith dan Peter Fingar

Tidak ada komentar:

Bibliography