Senin, 27 Agustus 2007

e-Enterprise

e-Enterprise
Volume I Nomor 03 - Desember 2002 - Januari 2003
Implementasi TI di perpustakaan tidak selalu mahal. Banyak sekali aplikasi handal dan gratis yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola pengetahuan menjadi output yang berguna.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Siti Jamilah nampak bersuka-cita. Sambil menahan senyum, pelajar sebuah SMU di Jakarta Selatan itu berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Akhirnya, ku dapat kau,” katanya berkali-kali. Maklumlah, setelah mengaduk-aduk sejumlah perpustakaan di berbagai lembaga, referensi soal United Kingdom yang dicari-cari Jamilah selama hampir sepekan ternyata ditemukan di British Council. Tidak saja lengkap, tapi melimpah. Itu pun Jamilah tidak perlu susah-susah, cukup browsing di depan komputer dan mengakses alamat www.britishcouncil.or.id. Kemudahan yang dinikmati Jamilah tidak terlepas dari fasilitas yang diberikan oleh British Council. Dengan implementasi teknologi informasi (TI) di perpustakaan, lembaga nirlaba itu tidak saja melayani peminjaman secara konvensional, tapi anggota bisa meminjam buku lewat internet dan kemudahan akses untuk mencari informasi yang lebih bermutu. Di British Council, setidaknya tersedia koleksi buku sebanyak 19.000, 5.000 buah AV (video dan kaset), dengan langganan majalah dan koran sekitar 80-an judul. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga penting di negeri ini, implementasi TI di perpustakaan British Council terbilang sudah maju. Makanya, institusi ini pada satu atau dua tahun ke depan akan mengubah perpustakaannya menjadi KLC (Knowledge and Learning Center). Dengan perubahan ini, semua layanan British Council akan terpusat di KLC. Nantinya akan disediakan informasi tentang United Kingdom, sekolah di Inggris, termasuk sekolah-sekolah yang memberikan beasiswa, peminjaman buku, video dan layanan yang lain. “Konsepnya semacam one stop shopping,” kata Hendro Wicaksono, pustakawan asal British Council. Koleksinya akan lebih banyak berbentuk elektronik. Nantinya, British Council akan berlangganan akses ke database full text. Jika itu terwujud, akan banyak kemudahan yang bisa dinikmati oleh anggotanya. Mereka akan dengan begitu mudah mengakses dan mendapatkan informasi-informasi penting. Tidak ada lagi cerita tidak menemukan referensi yang memadai. Kondisi ini berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan yang ada di Tanah Air. Tengoklah betapa memprihatinkannya perpustakaan di sekolah-sekolah umum dan sekolah khusus. Selain penataannya semrawut dan serba manual, koleksinya hanya itu-itu saja. Bahkan, banyak sekali koleksi buku yang obsolete. “Bagaimana mungkin kita bisa membangun sumberdaya manusia yang handal jika aset sumber pengetahuan dan ilmu itu tidak dibangun,” kata Badollahi Mustafa, Kepala Perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB). Perpustakaan yang agak memadai rata-rata terdapat di perguruan tinggi. Menurut Mustafa, perpustakaan Universitas Petra Surabaya, Universitas Sumatera Utara Medan, Universitas Solo, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, beberapa universitas swasta di Jakarta dan Bandung, sudah lumayan. Selain terpadu, fungsi-fungsi yang diotomatisasi sudah lebih lengkap. “Kalau IPB, lumayanlah,” kata Mustafa merendah. Sementara untuk perpustakaan umum, menurut Hendro, baru British Council yang impelemntasi TI-nya sudah lumayan. Untuk institusi swasta, perpustakaan di perusahaan konsultan Price Waterhouse Coopers (PWC) juga sudah lumayan canggih.
Hendro Wicaksono, pustakawan British Council
Dari sisi demografis, kata Hendro Wicaksono, kebanyakan perpustakaan yg sudah implementasi TI (skala kecil atau besar) adalah perpustakaan yang terdapat di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Implementasi TI di perpustakaan memang banyak ditemukan di kota-kota besar. Dan itu ditemukan di perpustakaan di mana institusi induknya memang sudah menggunakan TI dalam kerja sehari-hari, seperti law firm dan konsultan bisnis. Sedangkan di lembaga yang belum banyak tersentuh TI, rata-rata bangunan perpustakaannya asal-asalan dan belum diotomatisasi dengan TI. Jika dibandingkan dengan implementasi TI di perpustakaan di negara-negara maju, Indonesia begitu tertinggal. “Kita ketinggalan sekitar 10-15 tahun,” kata Mustafa. Sebab, implementasi TI di perpustakaan di negara-negara maju, seperti di Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, juga di negara-negara Asia seperti Filipina, India, Malaysia, Singapura dan Thailand, rata-rata sudah terpadu dan lengkap. Di negara-negara tersebut, perpustakaan menjadi kiblat sumber informasi. “Bila seseorang membutuhkan informasi apa saja, mereka pasti pergi ke perpustakaan,” kata Edwin Markin, pustakawan Bank Mandiri. Ketika mencari angka kematian/kelahiran di suatu tempat, mencari biodata seseorang dan mencari pemilik kendaraan bermotor, mereka pasti ke perpustakaan. Pengalaman Hendro melihat implementasi TI di perpustakaan di London dan Manchester (Inggris) serta di Bielefeld (Jerman) menarik disimak. Di sana, kata Hendro, orang dengan mudah melakukan peminjaman antar perpustakaan, men-donwload artikel fulltext antar unit, memperpanjang peminjaman lewat internet, menikmati fasilitas multimedia, dan e-learning. Di dua negara tersebut, kultur antar perpustakaan perguruan tinggi memang sudah terbiasa untuk resource sharing dan kurikulum pendidikan yang baik, sehingga implementasi TI mudah dilakukan. Di sana, lanjut Hendro, terasa betul “The power of library networking”. “Trust sangat terasa peranannya dalam membangun jaringan perpustakaan berbasiskan teknologi,” kata Hendro Wicaksono. Mengapa implementasi TI di perpustakaan di Indonesia rata-rata baru sebatas menyediakan software untuk pengolahan dan penelusuran serta sirkulasi bahan pustaka, layanannya pun masih sepotong-potong, belum terintegrasi dan hanya bisa dimanfaatkan oleh anggota perpustakaan? Menurut Edwin Markin, ini disebabkan karena untuk mengimplementasikan TI di diperpustakaan membutuhkan investasi yang tidak kecil dan sumber daya manusia yang memadai. “Yang terpenting adalah masih kecilnya perhatian pimpinan lembaga/pemilik perusahaan/pemilik modal tentang manfaat perpustakaan,” Edwin memberi alasan. Seringkali keberhasilan implementasi TI di sebuah institusi memang amat ditentukan oleh sikap dan visi dari pucuk pimpinannya. Sebab, dari sisi teknologi, Indonesia jelas tidak kalah dengan negara lain. Yang jadi masalah, ketika implementasi, seringkali sistem tidak bisa berjalan dengan baik karena adanya masalah kultur. “Jadi, negara lain lebih maju bukan dari sisi teknologi, tapi dari sisi kultur,” kata Hendro. Implementasi TI di manapun, termasuk di perpustakaan, aspek sosial, yaitu manusia yang akan memakai teknologi tersebut, menempati posisi penting. Teknologi secanggih apa pun tak akan ada gunanya jika pemakainya menolak. Dari sisi kultur berbagi dan berkembang bersama, kiblat yang bisa dicontoh adalah Jerman. Benarkah implementasi TI di perpustakaan ongkosnya mahal? Cap ini tidaklah benar. Mahal dan tidak itu relatif. Untuk perusahaan bank sekelas Bank Mandiri, jelas dana yang diinvestasikan tidak gede. Dengan koleksi buku sebanyak 9.197 judul (lebih dari 11.000 eksemplar), langganan 11 koran dalam dan luar negeri, langganan 17 majalah dalam dan luar negeri dan langganan 11 jurnal/terbitan berkala, pengeluaran bulanannya paling-paling berjumlah puluhan juta rupiah. Pembelian software NCI Bookman versi 2.30 yang diproduksi PT NCI di Bandung pun cuma berkisar Rp 40-50 juta. Itu sudah termasuk hardware, yaitu 3 unit komputer (masing-masing untuk penelusuran, input data dan server), printer, barcode reader dan kertas print barcode). Di luar itu, masih ada tiga komputer lagi, yaitu 1 unit komputer input data dan 2 PC (personal computer) biasa. Bisa pula lebih murah. Menurut Hendro Wicaksono, saat ini banyak sekali aplikasi yang bagus, mudah di-download di internet dan gratis. Misalnya, aplikasi LAMP (Linux Apache MySQL PHP) atau WAMP (Windows Apache MySQL PHP). LAMP/WAMP amat mudah diimplementasikan, bahkan oleh kalangan pemula sekali pun. Yang diperlukan hanyalah membaca langkah-langkah dalam manual. Jika menemui kesulitan, kata pakar security asal ITB Budi Rahardjo, ada banyak sekali website atau mailing list aktif yang bisa membantu. Untuk mengimplementasikan aplikasi berbasis open source ini, kata Budi, tidaklah sepenuhnya gratis. Tetap ada hidden cost, seperti belajar dengan men-download materi di internet dan kehilangan waktu untuk bejalar. Hebatnya lagi, aplikasi-aplikasi tersebut rata-rata bersifat multiplatform, learn once dan use anywhere. Misalnya, LAMP/WAMP selain bisa digunakan di Linux, juga familiar dipakai di Windows. Masing-masing aplikasi biasanya bersifat sepesifik. Aplikasi Post Nuke atau PHP Nuke misalnya, cocok untuk content management system. Sementara aplikasi Open Biblio lebih cocok untuk otomatisasi perpustakaan. Sejauh ini, kata Hendro, ia tidak menemui masalah serius menggunakan aplikasi-aplikasi gratis tersebut. “Dan yang terpenting, kebutuhan saya bisa terpenuhi,” kata Hendro menambahkan. Implementasi TI di perpustakaan memang memberikan banyak keuntungan. Ketika masih serba manual, perpustakaan IPB memerlukan tenaga 6 orang untuk melayani sirkulasi sepanjang waktu layanan. Kini cukup hanya dilayani satu orang. Ketika masih manual, layanan juga lambat, kurang akurat, boros bahan dan perlu membuat kartu katalog. Dengan pemanfaatan TI, masalah ini tidak ada lagi. Bahkan, dengan TI bisa menambahkan layanan baru, yaitu akses informasi lewat internet. Untuk melayani pengunjung 60-70 orang per hari, perpustakaan Bank Mandiri malah hanya dilayani empat orang. Tapi dengan NCI Bookman, pustakawan amat terbantu dalam kegiatan sirkulasi/simpan pinjam karena menggunakan sistem barcode, baik barcode buku maupun nomor barcode anggota. Sehingga proses sirkulasi dapat lebih efisien. Tidak heran jika NCI Bookman kini dipakai di lebih 70 perpustakaan, salah satunya perpustakaan Bank BNI. Kekurangannya, kata Edwin Markin, PT NCI berada di Bandung, sehingga kalau ada masalah pihaknya harus menghubungi ke Bandung, atau menunggu orang dari Bandung. Selain itu, tidak seperti versi terbarunya, NCI Bookman versi 2.30 masih belum bisa digunakan untuk mengakses lewat internet.Mengapa Bank Mandiri perlu membangun perpustakaan segala? Menurut Edwin, perpustakaan Bank Mandiri yang berada di bawah economic financial research group dimaksudkan untuk menyediakan bahan pustaka/informasi bagi seluruh karyawan yang membutuhkannya bagi kelancaran tugas-tugasnya. Sebagai gudang informasi, perpustakaan adalah sarana untuk mendongkrak kualitas sumberdaya manusia Bank Mandiri. Ini pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi Bank Mandiri, yakni peningkatan laba perusahaan. Edwin tidak mengelak bahwa keberadaan perpustakaan di Bank Mandiri memang dimaksudkan untuk pengelolaan pengetahuan (knowledge management). Sebab, kata Edwin, perusahaan yakin informasi akan sangat mempengaruhi kemajuan suatu bisnis atau perusahaan. “Manajemen perusahaan yang baik sangat memerlukan perolehan, pengolahan dan pengaturan informasi yang tertata rapi,” kata Edwin. Hakekat tugas perpustakaan adalah mengelola dan mengatur informasi yang ada dalam bentuk bahan pustaka (baik book material maupun non book material), sehingga mudah dimanfaatkan pemakai/karyawan. Mungkin lantaran ini, Bank Mandiri, bank hasil merger empat bank pelat merah, hanya dalam tempo tiga tahun prestasinya sudah melesat jauh ke depan. Padahal, merger bank seringkali gagal karena perbedaan kultur dan adanya resistensi. Jika sebuah institusi hendak mengimplementasikan TI di perpustakaannya, agar tidak gagal, faktor sosial (manusia pemakainya) harus dipersiapkan masak-masak. Kualitas sumberdaya manusia pengelolanya juga tidak kalah penting. Dari sisi teknologi, sepanjang ada dana, semua lembaga punya akses yang sama. Cuma, kata Badollahi Mustafa, teknologi seperti apa yang hendak diimplementasikan amat tergantung pada perpustakaan yang hendak dibangun, berikut dana yang tersedia. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, sebuah institusi bisa membangun perpustakaan sesuai kebutuhan dan sesuai pula dengan isi kantongnya. Jadi, tidak ada lagi alasan TI itu mahal. •ki foto-foto: Dahlan Rebo Paing

Tidak ada komentar:

Bibliography