Sabtu, 25 Agustus 2007

Mampukah Iptek Mendorong Kinerja UKM ?

Mampukah Iptek Mendorong Kinerja UKM ?
Jumat,19 Juli 2002 09:20
Persoalan kinerja seringkali menjadi kendala sektor Usaha Kecil Menegah (UKM) untuk maju. Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dipercaya dapat membantu peningkatan kinerja tersebut.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di abad ke-21 semakin pesat. Apapun dapat dilakukan. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan teknologi informasi (TI). Dalam era komputasi ini, penggunaan aplikasi TI sudah merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia. Meskipun harus diakui, penggunaan TI ternyata masih dikategorikan sebagai salah satu sumber daya yang terklasifikasi secara eksklusif dan identik dengan suatu kecanggihan super yang mahal.

Lantas, seiring dengan pesatnya perkembangan dan terobosan Iptek-khususnya berkaitan dengan TI yang ditandai dengan diciptakannya sistem microprosessor dan kemudian internet, maka secara cepat dan nyaris tidak terasa, hal tersebut telah menjadi suatu bagian dasar dari kehidupan manusia sehari-hari. Baik dalam bentuk alam lingkungan yang nyata sampai kepada kehidupan maya.

Salah satunya adalah pemanfaatan TI dalam bidang bisnis. TI dipandang dapat menjadi salah satu sektor pendorong bagi kemajuan usaha dalam kegiatan bisnis dan perekonomian secara umum. Hal ini telah diakui banyak pihak, kalau TI mampu meningkatkan kinerja usaha bisnis yang dilakukannya. Jika demikian, bagaimana halnya peranan dan kemampuan TI itu sendiri dalam mendorong kegiatan ekonomi yang berbasis pada rakyat kecil ?

Seperti telah ketahui, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu unit pelaku usaha yang strategis dalam perekonomian Indonesia. Setidaknya, hal ini dapat diindikasikan dengan jumlahnya yang mencapai 39,04 juta unit atau 99 persen dari total usaha nasional.

Sementara jika dilihat dari sisi tenaga kerja, unit usaha UKM ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi kemampuannya. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, diketahui tenaga kerja yang bekerja di sektor usaha kecil jumlahnya mencapai 66,827 juta orang atau mencapai 89 persen dari total angkatan kerja nasional.

Dan untuk tenaga kerja yang berada di usaha menengah, jumlahnya mencapai 7,535 juta orang (10 persen). Sedangkan mereka yang bekerja di usaha besar, tenaga yang terserap sebanyak 383,573 ribu orang (satu persen). Kontribusi UKM pun cukup besar dalam perolehan Produk Domestik Bruto (PDB) negara.

Dari PDB non migas, misalnya, UKM mampu menyumbang sebesar 63,11 persen. Terhadap ekspor non migas, nilai kontribusi UKM pun mampu mencapai angka 14,20 persen. Jadi jelas, unit usaha UKM ini merupakan salah satu katup pengaman bagi perekonomian nasional yang cukup efektif. Namun demikian, kenapa UKM-UKM tersebut belum mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan?

Deputi Bidang Pemasaran Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop dan UKM) Sri Ernawaty mengungkapkan ada beberapa hal yang menyebabkan ketidakmampuan UKM dalam membantu pemulihan perekonomian nasional. Diantaranya, produk yang dihasilkan UKM masih merupakan produk unggulan yang berorientasi lokal.

Juga, menurut Sri, kinerja UKM masih berkisar pada sektor primer dan masih sedikit yang bergerak di sektor pengolahan dengan nilai tambah yang tinggi. ``Akibatnya, tingkat produktivitas UKM tersebut masih sangat rendah, sehingga produknya hanya memiliki keunggulan komparatif, belum mempunyai keunggulan kompetitif,`` kata Sri dalam sebuah seminar mengenai ``Pemanfaatan Iptek untuk Meningkatkan Kinerja UKM`` di Jakarta beberapa waktu lalu.

Padahal, dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, baik di tingkat internasional maupun lokal, diperlukan produk-produk yang mampu bersaing secara kompetitif dengan para pesaing. Dipaparkan juga oleh Sri bahwa berdasarkan hasil studi CSES Universitas Victoria terlihat bahwa indeks teknologi produk unggulan Indonesia adalah 0,34.

Sementara, negara-negara pesaingnya di tingkat regional seperti Malaysia memiliki indeks 1,72, Singapura (1,79), Thailand (0,92), Filipina (0,95), dan Taiwan (1,19). Artinya, pemanfaatan teknologi yang mencerminkan kegiatan-kegiatan riset dan pengembangan (research and development) yang ada di Indonesia masih sangat rendah.

Selain daya serap teknologi yang masih rendah, Sri melihat adanya sejumlah kendala internal dan eksternal UKM dalam melakukan usahanya. Secara internal, umumnya sektor UKM masih sangat lemah dalam hal manajemen usaha, know how dalam teknik berproduksi, etos kerja, dan kendala-kendala lainnya.

Secara eksternal, lingkungan usaha yang bersifat multidimensional menyebabkan terjadinya hambatan bagi dunia usaha. Misalnya saja, papar Sri, undang-undang perbankan yang masih kaku. Akibatnya aturan itu masih menyulitkan akses para UKM terhadap sumber pembiayaan bank. Dalam hal ini, UKM yang akan meminjam uang ke bank-bank lokal, harus memberikan jaminan aset yang jauh lebih besar dari jumlah pinjaman yang dibutuhkan mereka.

Demikian juga halnya dengan kebijakan moneter berupa suku bunga Bank Indonesia (SBI) yang tinggi. Hal ini menyebabkan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya tidak menjalankan fungsi intermediasinya (menyalurkan kredit) secara sempurna. Kendala lain yang disebut Sri, terkait dengan program otonomi daerah yang cenderung menarik banyak pungutan kepada UKM dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dan, belum adanya jaminan keamanan resiko bagi UKM yang berakibat pada meningkatnya biaya produksi, juga menjadi penyebab lain. Hal penting lain yang merupakan cerminan dari masalah internal maupun eksternal UKM adalah rendahnya akses UKM kepada pasar sebagai akibat kurangnya akses terhadap informasi. Sri mengatakan hal tersebut terkait dengan minimnya kontak langsung dengan para pembeli potensial.

Dibalik sejumlah kelemahan yang disebutkan di atas tersebut, UKM memiliki keunggulan tersendiri. Menurut Kepala Biro Kredit Bank Indonesia (BI) Roswita Roza, setidaknya UKM dalam pemanfaatan bahan bakunya tidak tergantung pada bahan baku impor. Dengan demikian, pada saat harga bahan baku impor melambung sejalan dengan melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang asing, UKM ternyata dapat terus berproduksi dengan harga relatif stabil.

Sementara dari sudut perbankan, kata Roswita, pemberian kredit kepada UKM juga dapat menguntungkan bagi bank yang bersangkutan. Pasalnya, jelas dia, tingkat kredit macet sektor UKM dalam mengembalikan hutang pada umumnya relatif kecil. ``Tingkat kepatuhan nasabah usaha kecil ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan nasabah usaha besar.``

Dengan adanya pemberian kredit kepada UKM maka akan mendorong penyebaran risiko perbankan. Roswita mengatakan penyaluran kredit kepada usaha kecil dengan nilai nominal kredit yang kecil pula memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah nasabahnya. Sehingga, pemberian kredit tersebut tidak hanya terkonsentrasi pada satu kelompok atau sektor usaha saja.

Solusi yang Tepat

Melihat kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh sektor usaha kecil menengah tersebut, penerapan TI tampaknya dipandang penting untuk mengembangkan kemampuan UKM agar bisa lebih berdaya-saing menghadapi liberalisasi perdagangan pada saatnya nanti.

Direktur Pemasaran PT Myohdotcom Indonesia Rendra Hertiadhi menganggap peranan TI dalam bisnis adalah sebagai alat yang harus mampu berperan dalam mendukung bagi terciptanya produktivitas kinerja yang optimal dan profitibilitas yang maksimal.

Oleh karena itu, paparnya, harus diperhatikan bussiness tools (perangkat bisnis) yang tepat. Dalam hal ini, pilihan TI harus memperhatikan secara cermat dan menyesuaikan solusi yang dipilih sesuai dengan bussiness process (proses bisnis) dari kegiatan usaha yang dijalankannya.

Terkait dengan UKM, jelasnya, secara umum yang harus dilakukan adalah penentuan prioritas kebutuhan. Prioritas kebutuhan tersebut harus muncul dalam rangka menghasilkan kinerja usaha yang lebih baik. ``Satu hal yang nyata adalah bahwa kita dapat melakukan kuantifikasi (penghitungan) terhadap manfaat yang diperoleh dari penerapan TI dalam proses bisnis.``

Menanggapi hal itu, Roswita menyatakan pihak BI sebenarnya sudah menyiapkan perangkat informasi yang berbasis TI dengan kuantifikasi kebutuhan. Upaya yang telah dilakukannya adalah dengan mengembangkan Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK). Sistem tersebut, katanya, dapat sebagai sarana menyebarluaskan secara cepat hasil-hasil penelitian dan berbagai informasi lainnya.

Dalam sistem SIPUK, urai Roswita, meliputi Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB), Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE), Sistem Pola Pembiayaan (SILM), Sistem Informasi Penunjang Keputusan untuk Investasi (SPKUI), dan Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit (SIPMK).

Subsistem-subsistem tersebut, jelasnya, diintegrasikan ke dalam suatu sistem terpadu. Sehingga akan memudahkan pengguna ketika ingin mengetahui lebih banyak dan jauh tentang suatu komoditi dari berbagai aspek. ``Diantaranya seperti aspek potensi ekonomi daerah, pengembangan ekspor, model pembiayaan, bahkan model simulasi jika ingin berinvestasi pada komoditi tersebut,`` paparnya.

Peneliti dari LIPI Akhmadi menambahkan upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan UKM berbasis Iptek adalah dengan menciptakan teknologi tepat guna (TTG). Dimana, bahan yang digunakan untuk mengembangkan TTG tersebut tetap berbasis kepada sumber daya lokal. ``Sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan nilai tambah usahanya,`` tuturnya.

Namun, peran dan fungsi TTG ternyata masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan antara lain karena masyarakat belum mengenal dengan baik manfaat TTG. Dan, sambungnya lagi, umumnya masyarakat belum mengetahui cara menggunakan TTG. Akibatnya, selama ini masyarakat melihat penggunaan TTG hanya menambah beban usaha saja.

Untuk itu, kata Akhmadi, dalam penerapan TTG perhatian terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat, merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Sehingga kesenjangan antara teknologi yang ada atau tersedia dengan kebutuhan kelompok masyarakat pengguna dapat secara benar untuk digunakan memecahkan masalah yang dihadapi sesungguhnya.

Dalam hal ini, tandasnya, dituntut peran pengguna untuk bersifat aktif. Jika para pengguna bersifat pasif maka proses pengalihan teknologi akan berjalan lambat atau mengalami kegagalan. Jadi, kata dia, langkah yang dapat ditempuh dalam hal alih teknologi dan menumbuhkan sikap inovatif pada masyarakat pengguna melalui optimasi dan pengembangan jaringan kemitraan. Selain itu, dilakukan pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya manusia.

``Seperti melakukan pilot plant pada suatu daerah yang dianggap berpotensi, mengembangkan fasilitas pelatihan, sistem informasi, dokumentasi serta promosi. Dan dengan mengembangkan sistem database yang berisi produk, hasil-hasil pengembangan dan manajemen,`` urainya.

Sementara dalam hal strategi bagi penerapan TTG, Akhmadi menuturkan setidaknya dengan melakukan identifikasi dan pemilihan penerapan TTG yang sesuai. Diantaranya dengan melakukan reedukasi, bantuan teknis teknologi, pendampingan, serta melakukan pemberdayaan dan pembinaan usaha.

Setelah itu, dilakukan monitoring dan evaluasi untuk memantau kegiatan yang sudah dilakukan. Lebih jauh Akhmadi mengungkapkan dalam upaya komersialisasi hasil-hasil TTG selayaknya diterapkan strategi unggul harga, unggul mutu, unggul segmen pasar, dan unggul citra. ``Ini merupakan hal yang penting,`` ujarnya.

Secara terpisah Kepala Bidang Infrastruktur Jaringan Informasi Kementerian Riset dan Teknologi Haryanto Sahar menuturkan kepada Republika, guna memfasilitasi unit-unit UKM mengakses TI pihaknya mendirikan warung informasi dan teknologi (warintek). Warintek ini, katanya, tidak hanya melakukan pengumpulan data potensi lokal, melainkan dilakukan pula bentuk-bentuk pelatihan. ``Dalam setahun kita mengadakan 4-5 kali pelatihan tentang TTG.``

Hingga saat ini, ungkapnya, warintek yang berada di seluruh Indonesia telah berjumlah lebih dari seribu unit. Masing-masing unit warintek tersebut, mendapatkan insentif dari pihak pemerintah berupa dana yang besarnya Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. ``Tapi untuk besar kecilnya jumlah insentif tersebut tergantung oleh kebutuhan daerahnya masing-masing,`` tukasnya.

Adapun materi yang terdapat dalam warintek tersebut berupa infrastruktur teknologi dan konten data. Untuk insfrastruktur, kata Haryanto, pihaknya masih mengalami kendala telekomunikasi untuk dapat berkolaborasi dengan Internet Services Provider (ISP) setempat. Sedangkan untuk konten, pihaknya telah berhasil mengumpulkan informasi dari hasil-hasil penelitian LIPI, BPPT, Ristek, dan lembaga-lembaga penelitian lainnya.

Umumnya informasi yang diberikan berupa pemanfaatan TTG dari hasil kajian lembaga penelitian dan pengembangan (litbang). Pihaknya juga, kata Haryanto, melakukan pula penginputan database (pemasukan data) lokal yang dapat diakses secara internet maupun dalam bentuk CD-ROM (compact disc-read only memory).

Ditambahkan pula oleh Asisten Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek-Kementerian Riset dan Teknologi, Rathoyo Rasdan, untuk mengoptimasikan kemampuan UKM dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, pihaknya membangun sentra promosi dan pemasyarakatan iptek (sentra promptek).

Dari program sentra promptek tersebut, pihaknya telah berhasil mengumpulkan sebanyak 63 temuan dari proses penelitian. Sedangkan yang telah berhasil dimanfaatkan untuk pengusaha usaha kecil dan menengah (UKM) sebanyak 48 temuan. ``Kita berharap dengan berhasilnya sentra promtek mendokumentasikan temuan dari hasil penelitian, maka pemanfaatannya oleh UKM bisa semakin banyak. Dan ini nantinya dapat memperkuat UKM dalam menghadapi persaingan pasar mendatang.`(Republika)

Tidak ada komentar:

Bibliography