Sabtu, 25 Agustus 2007

Ekspor Sektor UKM Makin Terseok-seok

Ekspor Sektor UKM Makin Terseok-seok


JAKARTA – Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Padahal keberadaannya dirasakan sangat penting dalam membangkitkan kembali ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis. Sebab, pasca krisis melanda negeri ini, hanya sektor UKM lah yang tetap eksis, bahkan berkembang pesat.
Hal ini menunjukkan bahwa UKM memiliki fondasi yang kuat, sehingga mampu mendiri. Mereka tidak tergantung dengan pinjaman dari bank. Tapi dalam kenyataannya, hingga kini UKM tetap seperti dianaktirikan. Pemerintah belum bisa memberikan solusi bagi pengembangan UKM, terutama dalam meningkatkan kualitas produknya maupun dalam mengatasi kesulitan permodalan. Dampaknya, di kancah persaingan ekspor, UKM di negeri ini belum bisa berbuat banyak. Padahal, di negara-negara lain sektor UKM mendapat perhatian serius dan juga dibantu secara konkret oleh pemerintahnya.
Di era perdagangan bebas, semua negara berupaya meningkatkan arus perdagangan ke berbagai negara lain. Tak heran, persaingan pun menajam, semua negara mengerahkan kemampuannya untuk memasuki pasar internasional.
Tidak hanya koorporasi, UKM di banyak negara digenjot untuk meningkatkan ekspornya. Bahkan UKM dianggap menjadi salah satu potensi ekspor yang besar. Hanya saja, ketika di beberapa negara ekspor UKM menunjukkan catatan cemerlang, di Indonesia ekspor kelompok ini malah jeblok.
Pada 2002, ekspor Indonesia tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Meski demikian, pada 2003 mulai terlihat peningkatan. Ekspor nonmigas Indonesia periode Januari – Oktober 2003 mencapai US$39,3 miliar atau naik 3,4 persen dari US$38 miliar pada 2002 periode yang sama.
Berapa kontribusi UKM dari seluruh ekspor sektor nonmigas?
Soal data yang akurat mungkin belum ada. Namun, Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Dian Maulida mengatakan, dari 41 juta unit UKM, hanya 10 persen yang sudah mampu menembus pasar ekspor. Pernyataan ini juga didukung oleh Direktur Sandang Direktorat IDKM Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Effendi Sirait yang mengemukakan dari perhitungan ekspor UKM selama ini memperlihatkan 10 persen dari seluruh ekspor nonmigas.
Dibandingkan beberapa negara ASEAN, perkembangan UKM di Indonesia tertinggal jauh. Malaysia atau India telah mampu menyumbangkan ekspor hingga 30 persen dari total ekspor non migas nasionalnya.
Padahal, UKM di dalam negeri telah terbukti menjadi wirausahawan yang tangguh. Ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia, UKM justru mampu menyelamatkan ekonomi dalam negeri dari keambrukan yang lebih parah. Perusahaan besar sibuk merumahkan karyawan tetapi UKM menjadi ladang kerja baru. UKM mampu menampung 99,45 persen dari total tenaga kerja nasional atau 73,24 juta tenaga kerja.
Namun, faktanya UKM tetap tidak diberdayakan, padahal potensinya sangat besar. Banyak kendala yang membuat UKM sulit bersaing, seperti kemampuan manajerial, kesulitan akses pasar, keterbatasan penguasaan teknologi informasi dan permodalan. Memang, tidak semua produk UKM berorientasi ekspor, namun produk-produk andalan ekspor juga terbatas seperti mebel, garmen, produk pangan olahan. Bahkan untuk buah-buahan nyatanya Indonesia pun tidak mampu bersaing. Impor buah lebih besar dari pada ekspor buah Indonesia.
Lihat juga, ekspor garmen yang kini cuma bisa menanti kebangkrutan. Produsen garmen UKM, Suprapti Wahyuni mengatakan, ekspor garmen kini anjlok hingga 70 persen ke negara non kuota. Imbasnya, pabrik-pabrik garmen itu memilih tutup karena kehilangan order. Padahal 60 persen ekspor garmen UKM adalah negara nonkuota, sedangkan ke negara kuota umumnya garmen usaha kecil tidak mampu bersaing. Pemicunya tak lain ketidakmampuan bersaing dengan kompetitor utama, Cina.
“Sebelumnya barang-barang yang masuk ke Timur Tengah melalui Dubai dipasok dari Indonesia sekarang mereka sudah memindahkannya dari Cina karena harganya lebih murah. Tadinya pabrik saya beroperasi 300 mesin sekarang yang saya pakai hanya 50 mesin,” kata Wahyuni.
Trader tidak lagi mau mengambil dari Indonesian sedangkan UKM tidak bisa berbuat apapun. Soalnya mereka tergantung kepada trader untuk melakukan ekspor. Di samping kemampuan melakukan ekspor sendiri masih rendah, ekspor dalam jumlah kecil juga merugikan di UKM.
Di dalam negeri pun, pengusaha garmen ini tidak mampu berkompetisi karena sudah dibanjiri barang impor. Produsen garmen kecil ini sekarang hanya mengandalkan order seragam, baik seragam sekolah, sipil, militer atau polisi. Kalau order tidak ada, habislah sudah.
Satu-satunya yang masih mampu stabil adalah ekspor ke negera nonkuota untuk produk high fashion seperti Jepang, Hong Kong, Malaysia dan Singapura. Cuma, volume dan nilai produk ini sangat kecil.
Promosi
Kendala yang dihadapi UKM tersebut, sudah menjadi persoalan akut. Padahal begitu banyak promosi yang dilakukan pemerintah kenyataannya masih sulit. Upaya untuk mempromosikan produk UKM nasional banyak dilakukan oleh BPEN. Internasional Trade Promotion Center (ITPC) didirikan sebagai wadah promosi ekspor, pengembangan sistem jaringan informasi ekspor, pelatihan ekspor. Selain itu aktif menyelenggarakan pameran dagang dan mengirim misi dagang. Promosi di luar negeri juga dikembangkan melalui Permanent Trade Display produk Indonesia di kantor-kantor ITPC dan perwakilan Indonesia di luar negeri.
Di samping kegiatan promosi, kegiatan lain dalam lingkup pengembangan dan pengamatan pasar, yang akan ditingkatkan ialah survei dan kajian pasar, adaptasi dan diversifikasi produk serta pengadaan bahan-bahan/media informasi. BPEN polanya menekankan kegiatan pada upaya mendorong dan memberdayakan para pelaku ekspor memasuki dan merebut peluang pasar yang terbuka.
Tidak kurang puluhan pameran dengan dukungan dana negara diselenggarakan BPEN setiap tahun dalam rangka promosi ekspor. Dengan kata lain, UKM dibantu untuk berpromosi. Sebut saja, Pameran Produk Ekspor (PPE) yang setiap kali penyelenggaraan menghasilkan nilai transaksi besar. PPE ke-17 tahun 2002 berhasil meraih nilai transaksi hingga US$ 72,4 juta. Nilai itu lebih tinggi dari PPE 2001 yang hanya mampu menangguk transaksi senilai US$ 47,2 juta. PPE ke 18 membukukan nilai transaksi ekspor lebih dari US$90 juta.
Hanya saja, efektifitas gencarnya pameran ini tak juga mampu menaikkan ekspor. Setidaknya itu yang dikemukakan Ketua Forum UKM, Firman Soebagyo.
Dia menegaskan, tidak ada tindak lanjut dari pameran, semuanya diserahkan kepada UKM. Pemerintah lanjutnya, hanya menilai dari nilai transaksi yang dihasilkan saat pameran berlangsung, tetapi selesai pameran UKM dibiarkan tanpa pendampingan. Padahal buyer menuntut kontiniuitas dan barang tersedia dalam jumlah besar. Karena itu, buyer tidak jarang akhirnya berhenti memberi order dan lari karena UKM mampu memenuhi order.
“Pameran akhirnya terkesan hanya sekadar menghabiskan anggaran. Tidak ada pendampingan lebih lanjut kepada UKM,” tukas Firman.
Keterbatasan dalam penguasaan teknologi informasi (TI) ikut menjadi faktor yang merintangi perkembangan UKM untuk berpromosi.
Bappenas pernah melansir bahwa 80 persen UKM potensial tidak menguasai dan tidak memanfaatkan TI untuk mendukung usahanya.
Masalahnya terbentur pada modal dan kurangnya akses TI berbasis internet. Padahal kemampuan mengakses TI sebagai salah satu kunci memenangkan persaingan internasional. Penyediaan website UKM membantu UKM berpromosi dengan biaya lebih murah dari pada harus mengikuti ajang pameran.

Pembenahan UKM
Kajian tentang UKM di Indonesia pernah dilakukan oleh tim dari Jepang yang di pimpin oleh Prof. S. Urata, guru besar di Waseda University. Kajian ini, ketika itu khusus diminta oleh Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000 untuk pembenahan sektor UKM di Indonesia.
Saat itu, kajian yang dilakukan menyangkut keuangan UKM, pembangunan kapasitas dan pelaksanaan skim UKM di Indonesia.
Ekspor UKM sejak dulu telah menarik karena potensi UKM sangat besar. Bahkan tim menyatakan jumlah UKM mencapai 99 persen dari total perusahaan di Indonesia. Namun, ekspor UKM nyatanya sangat kecil dibandingkan usaha besar.
Tak heran bila kemudian tim tersebut menyimpulkan perlunya memperkuat daya saing dan menggalakkan peningkatan ekspor dengan melakukan strategi pada industri tertentu. Untuk mengembangkan kemampuan UKM maka menyelaraskan hubungan antara kebijakan keuangan UKM dengan peningkatan kemampuan manajerial.
Tindakan untuk peningkatan ekspor direkomendasikan dengan memperkuat layanan ekspor, peningkatan sistem keuangan ekspor dan asuransi, penyederhanaan prosedur administrasi.
Firman mengatakan, peningkatan kemampuan UKM tentu saja tidak lepas dari permodalan. Kesulitan UKM mendapatkan dana sudah bukan persoalan baru. Banyak hambatan tapi tak kunjung selesai. Dana berjumlah triliunan yang diperuntukkan bagi UKM akhirnya tidak jelas penyalurannya. UKM tetap saja harus bersusah payah bersaing untuk mendapatkan pinjaman dari bank.
Karena itu, seperti rekomendasi tim studi tersebut membenahi semua peraturan yang menghambat guna mempermudah UKM semakin berkembang dan mampu bersaing di pasar internasional. “Kalau ekspor juga tidak bisa lagi, jangan sampai seragam sekolah-sekolah di negeri ini juga harus dipesan dari Cina,” kata Wahyuni miris.
(SH/naomi siagian

Tidak ada komentar:

Bibliography