Minggu, 26 Agustus 2007

Kaitan Pola Dunia Cyber & Dunia Nyata


Kaitan Pola Dunia Cyber & Dunia Nyata

Onno W. Purbo

Saya agak beruntung mempunyai ayah (Hasan Poerbo) & adik-adik arsitek + planner. Sehingga masih ada sisa-sisa filosofi pembangunan terutama yang bersifat community based yang masih menempel di kepala saya. Terus terang saya rasa kita bisa banyak melakukan analogi antara kedua dunia tersebut agar proses pembangunan tersebut menjadi sukses. Sialnya sebagian besar orang banyak baik yang di dunia cyber maupun di dunia nyata lebih suka akan hal-hal yang kasat mata & secara fisik bisa dirasakan, mungkin itu adalah sifat manusia yang sangat manusiawi mereka lebih mendambakan sesuatu yang sifatnya duniawi daripada surgawi yang kadang terlalu abstrak.

Contoh sederhana saja, dalam banyak proyek pembangunan terutama yang dilakukan oleh pemerintah pasti & sangat pasti akan mengutamakan pembangunan yang sifatnya fisik, gedungnya, jalannya, selokannya dll. Amat kurang perhatian yang diberikan pada hal-hal sifatnya lebih substantif, operasional & non-fisik. Sama juga kalau pemerintah membangun di dunia cyber, pasti yang dibeli duluan adalah komputer pentium yang terbaru tercanggih, dengan harddisk yang sangat besar, dengan leased line yang paling cepat, ada kabel ISDN, ada kabel fiber optik yang broadband dll. Tapi apa yang kita lihat di dalam-nya kosong & ompong, tidak ada isi-nya tidak ada aktifitas apa-apa, tidak ada orang yang lalu lalang …… dalam bahasa sunda-nya “garing pisan”. Sial-nya semua itu umumnya di bebankan kepada bangsa Indonesia, anak cucu bangsa ini dalam bentuk utangan ke Bank Dunia, ADB, IMF dll … memang begitulah pola yang dipakai oleh manusia yang sangat mendambakan hal-hal yang sifatnya duniawi.

Dalam masa yang lebih modern sekarang ini, pola jor-joran pemerintah tersebut tampaknya masih di di resapi & diminati oleh banyak pihak - pola-pola yang hampir mirip tampaknya sedang berkembang di dunia “swasta”, contohnya yang baru saja menampakan kegagalannya adalah astaga.com yang menunjukan gejala ambruk (kalau belum ambruk beneran), gejala awal yang tidak akan berbeda jauh sebetulnya bisa menampakan dirinya di cybercity, belum lagi teman-teman di ITB yang gembar-gembor dengan Bandung High Tech Valley (BHTV) - maaf saya kebetulan kenal baik dengan mereka, jadi saya tahu betul pola yang dipakai, tidak beda jauh lah - polanya adalah jual ide, jual visi, mengajukan proposal, menarik investor …

Saya lihat pola BHTV sangat top down, lebih men-treat manusia sebagai objek (apakah itu sebagai konsumen atau pekerja) bukan sebagai subjek. Sangat kurang sekali usaha untuk membangun demand & fasilitasi pembangunan di masyarakat. Yang sangat jelas & cukup seru dilakukan adalah lobby-lobby tingkat atas untuk menarik & meyakinkan para investor masuk. Sangat kurang sekali adanya sukses story keberhasilan membangun industri / inkubator dunia usaha dari kampus. Perlu ditanyakan ke rekan-rekan ini, apakah mereka pernah berhasil menelorkan perusahaan-perusahaan yang kemudian membesar & untung? Berapa buah perusahaan Small Medium Enterprise (SME) high tech yang pernah di telorkan & masuk ke media massa? Apakah mereka mempunyai massa real terutama dikalangan pengusaha muda? Bagaimana massa real diantara anak-anak muda? Silahkan di check lebih lanjut karena saya tidak pada posisi memberikan jawaban yang resmi; saya yakin hasilnya akan membuat kening anda berkernyit.

Saya tidak bisa memberikan komentar terlalu banyak soal cybercity-nya Edward, hanya saja secara instink saya merasakan bahwa pola yang tidak beda jauh dengan Bandung High Tech Valley (BHTV) juga akan di anut. Kegagalan-kegagalan ini sebetulnya juga terjadi bukan saja di Indonesia tapi di luar negeri, mengapa banyak perusahaan dotcom yang tewas, yang jatih harga saham-nya di NASDAQ? Simple sekali sebetulnya karena umumnya mereka menjual mimpi tanpa dasar aktifitas & massa real yang kuat. Kalau mereka punya dana umumnya mereka bergerak dengan cara membangun supply dulu kemudian berusaha meyakinkan masyarakat untuk terkait ke portal yang mereka bangun. Sulit sekali & membutuhkan biaya mahal, contohnya astaga.com tidak kuat mereka untuk menarik masyarakat masuk walaupun dengan biaya yang sangat mahal. Berbeda dengan detik.com yang lebih konservatif dan secara perlahan membangun masyarakatnya.

Kalau saja para pembaca masih ingat pola yang dipakai almarhum ayah saya Hasan Poerbo dengan teman-temannya di PPLH ITB dll, perhatian pola pembangunan masyarakat di Cigaru, perbaikan kampung dll … polanya sebetulnya sederhana sekali yaitu menjadi fasilitator, pandaikan masyarakat. Gerakan masyarakat akan terbentuk dengan sendiri-nya jika masyarakat itu tahu & yakin akan manfaatnya sehingga menuju pada sebuah sustainable bottom-up community based development. Yang jelas-jelas tidak akan mengandalkan utangan ke Bank Dunia, ADB apalagi IMF - apalagi justru dana pinjaman seperti ini yang biasanya menjadi sasaran empuk untuk KKN & sebangsanya.

Pola yang sama dengan Cigaru yang dilakukan oleh PPLH ITB dapat menjadi lebih powerful di Internet, pernahkan anda tahu bahwa untuk membangun 1000 Warnet di seluruh Indonesia hanya membutuhkan waktu kurang dari satu tahun saja? Itu yang kejadian sekarang ini, hanya dengan bermodalkan “pena” di MSWord saya menuliskan buku “Teknologi Warung Internet” yang diterbitkan oleh PT. Elexmedia di awal Desember 1999 & sekarang tercetak sekitar 30-40.000 eksemplar di samping buku-buku saya yang lain dan di dukung berbagai mailing list termasuk asosiasi-warnet@egroups.com yang paling aktif. Proses pemberdayaan masyarakat terjadi dengan sangat cepat sekali, Warnet yang menjadi alat paling ampuh untuk akses Internet secara murah menjadi kenyataan tanpa perlu negara ini meminjam uangnya ke Bank Dunia, ADB & IMF.

Mengapa sampai saya sedemikian ngotot-nya di akhir tahun 1999 untuk menulis buku Warung Internet tersebut? Alasannya sangat sederhana, pada saat itu teman-teman sedang bergerak ke BAPPENAS untuk menggoalkan utangan ke Bank Dunia lagi untuk membangun Community Tele Center (CTC) yang dalam bahasa awamnya adalah WARNET. Ya saya tidak bisa menahan mereka, tapi dengan cara menyebar luaskan ilmu pengetahuan kemasyarakat & menjadikan transparan ilmu tersebut buat masyarakat - saya hanya membuktikan bahwa sebetulnya Bank Dunia, ADB, IMF tidak diperlukan di Indonesia. Memang akhirnya proyek CTC tidak bisa di goalkan karena keburu banyak WARNET di Indonesia J … Bahkan komunitas warnet sekarang sudah mulai menguatkan diri-nya dengan membentuk Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) yang bermarkas di cyberspace asosiasi-warnet@egroups.com & http://www.war.net.id/

Pengalaman tersebut sebetulnya memperoleh banyak inspirasi dari pengalaman sebelumnya dalam membangun jaringan internet untuk dunia pendidikan yang bermarkas di ITB. Polanya sangat mirip sekali, dengan memandaikan rekan-rekan apakah itu melalui training, bantuan instalasi internet maupun diskusi-diskusi yang berkepanjangan tanpa terikat dimensi ruang & waktu di Internet terutama di sysop-l@itb.ac.id. Pola tersebut terus berlanjut, dan yang paling gencar sekali sekarang ini adalah pihak Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) yang berkoordinasi di dikmenjur@egroups.com. Pada saat tulisan ini di tulis di awal agustus 2000 telah tersambung hampir 300 SMK ke Internet, program Sekolah2000 kalah jauh dalam keberhasilan mengkaitkan SMU ke Internet, saat ini paling tidak ada 10+ SMU yang terkait ke Internet. Mengapa bisa demikian? Karena Dr. Gatot HP (gatothp@aol.com) direktur pendidikan menengah kejurusan DIKMENJUR sangat aktif memberdayakan, membimbing SMK-SMK ini bahkan menjawab e-mail di mailing list yang jelas sangat memberi semangat bagi SMK-SMK ini untuk maju. Pemberdayaan juga dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai pihak agar mau membantu SMK secara cuma-cuma. Hal ini tidak terjadi di Pendidikan Menengah Umum (DIKMENUM) & juga tidak terjadi di Pendidikan Tinggi (DIKTI). Yang ada di DIKTI ya mencari utangan ke ADB untuk membuat proyek percontohan untuk menyambungkan 8 PTN ke Internet. Memang bisa tersambung sih, tapi sudah itu kosong tidak ada yang pakai infrastruktur yang dibangunnya.

Pada saat melakukan pembangunan jaringan Internet pendidikan di ITB yang akhirnya berhasil mengkaitkan 25+ lembaga pendidikan ke Internet, teman-teman mahasiwa yang berjuang di situ ternyata belajar bekerja secara profesional menimba ilmu dengan baik semua dilakukan sambil bermain internet. Mereka tidur di lab, mereka ngobrol di lab. Mereka makan di lab, menulis artikel-artikel hasil penelitian mereka - bahkan pada tingkat 4 beberapa menulis buku hasil kutak-katik-nya. Hasilnya, beberapa ternyata berhasil memperoleh uang saku sendiri pada saat mahasiswa-nya sebesar Rp. Satu juta per jam - pada saat memberikan training / workshop secara komersial. Belum lagi berbagai bonus / honor yang diperoleh misalnya dari penulisan artikel dll.

Dalam prosesnya tanpa di sadari adik-adik mahasiswa ini melakukan belajar sambil bermain internet dan menjadi profesional di bidangnya. Saat ini sebagian dari mereka telah spin-off dari kampus ITB dan mendirikan beberapa perusahaan-perusahaan kecil jumlah orangnya yang bergerak di teknologi tinggi. Contohnya Zilmy Zamfarra & teamnya saat ini sedang membangun 1000 warung internet di seluruh Indonesia. Ismail Fahmi & team-nya sedang membangun infrastruktur pengetahuan (sederhananya digital library) dengan sponsor utama CIDA dari Canada. Adnan, Luthfi cs mereka sedang bersiap-siap untuk membangun infrastruktur internet telepon, wireless internet dll. sebagian dananya sedang menunggu dalam jumlah yang sangat besar di Jepang. Aulia K. Arief sedang melakukan negosiasi untuk implementasi jaringan internet di Iraq. Dan masih banyak lagi. Semua terjadi dengan sendiri-nya setelah beberapa tahun kemudian, tanpa gembar-gembor visi, misi dsb. Dana yang berputar di antara anak-anak muda ini terus terang bukan dana yang sedikit, tapi dalam jumlah yang sangat besar beberapa ratus juta rupiah bahkan milyar. Polanya sangat sederhana sekali, beri kesempatan adik-adik mahasiswa untuk berkiprah di lab-nya, berkreasi & bekerja secara profesional tanpa perlu gembar-gembor seperti yang dilakukan oleh inisiatif yang lain.

Apa yang sangat dominan dalam penjelasan ini adalah infrastruktur fisik yang kasat mata menjadi tidak relevan untuk di dudukan sebagai prioritas utama. Substansi, konten, pengetahuan & informasi menjadi prioritas yang sangat tinggi (kalau bukan paling tinggi). Bekerja pada strata informasi & pengetahuan apalagi yang berbasis Internet, sebetulnya dimensi ruang, waktu & birokrasi menjadi tidak relevan untuk di bicarakan. Batasan-batasan fisik menjadi tidak ada, struktur tidak diperlukan - manusia cukup hidup dari fungsinya tanpa perlu adanya struktur, jabatan & birokrasi. Organisasi menjadi sangat datar & tidak lagi krucut. Kantor, perusahaan, organisasi sebetulnya bisa tidak relevan di Internet - kemitraan, kerjasama yang saling menguntungkan akan sangat dominan sekali.

Seseorang hanya akan di hargai akan karyanya yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Acknowledgement masyarakat akan datang dengan sendiri-nya karena manfaat yang diberikan kepada masyarakat banyak. Orang tersebut bisa saja bekerja menggunakan laptop-nya di tengah sawah, sambil duduk di atas deck rumah panggung-nya dibawah tiupan angin sepoi-sepoi di lingkungan alam pedesaan. Kualitas hidup manusia menjadi lebih baik. Konsep-konsep cybercity, BHTV akhirnya menjadi di pertanyakan, cocokah?

Akhir kata, pengalaman saya selama lepas dari pekerjaan dosen ITB & melepas status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tapi juga tidak bekerja dimana-mana termasuk tidak memberikan konsultansi hanya mengkonsentrasikan diri sebagai penulis & menyebarkan pengetahuan saja. Filosofi yang mendasari kehidupan dunia cyber sebetulnya hanya masalah:

“Amal & ibadah - rizki & pahala akan sesuai dengan amal & ibadah yang dilakukan.”

“Berusaha agar dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat.”

Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan inspirasi bagi teman-teman pembaca untuk mulai berkiprah dalam memandaikan bangsa Indonesia agar dapat menuju knowledge based society.

Tidak ada komentar:

Bibliography